Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, kita sering kali mengukur kecerdasan (IQ) sebagai satu-satunya penentu kesuksesan. Padahal belum tentu hal tersebut menjadi penentu kesuksesan, kenyataannya  pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa ada dimensi lain dari kecerdasan yang jauh lebih krusial untuk kesejahteraan, hubungan, dan kepemimpinan kita: yaitu Daya Pikir Emosional atau Emotional Intelligence (EQ).

Kita seringkali melihat ada seseorang yang  dulu pada saat sekolah memiliki kemampuan yang dibawah rata-rata kelas, tetapi pada kehidupan selanjutnya justru menjadi orang yang paling sukses diantar teman lainnya, dan sebaliknya. Pada saat dibangku sekolah ada anak yang sangat pintar dan cerdas luar biasa, tetapi  masa depan dan kehidupannya tidak lebih baik dari temannya yang biasa-biasa saja. Hal ini membuktikan ada dimensi lain diluar kecerdasan.

Lebih dari sekadar mengenali perasaan, daya pikir emosional adalah sebuah seni yang membutuhkan latihan, kesadaran, dan kemauan untuk terus berkembang. Ia adalah jembatan yang menghubungkan apa yang kita rasakan dengan bagaimana kita bertindak, memungkinkan kita untuk menavigasi badai emosi internal dan interaksi sosial yang kompleks dengan ketenangan dan kebijaksanaan.

Lalu bagaimana kita melatih daya pikir emosional agar apa yang kita rasakan dan bagaimana kita harus bertindak?

1. Daya pikir emosional lahir dari kesadaran diri

Seseorang tidak bisa mengendalikan apa yang tidak ia sadari, itulah kenapa kesadaran diri adalah pondasi dari kecerdasan emosional. Ketika kita  tahu pola emosi diri kita sendiri, kapan kita cenderung tersinggung, apa pemicunya, dan apa narasi yang ada di kepala,bagaimana meredakannya,  maka kita tidak lagi jadi budak dari emosi diri sendiri.

Misalnya, kita menyadari bahwa kita mudah marah saat lelah, nah dengan kesadaran itu, maka kita bisa memilih untuk tidak berdebat ketika tubuh sedang tidak stabil. Ini bukan sekadar kontrol diri, tapi bentuk kecerdasan emosional yang matang. Kesadaran membuat kita mampu berpikir lebih jernih karena mengerti diri sendiri sebelum menilai orang lain.

2. Emosi yang tidak dikelola akan menipu logika

Saat kita  marah, seringkali otak menipu diri kita sendiri, ia membuat kita  percaya bahwa kita memang yang benar dan orang lain salah.  Inilah yang disebut amygdala hijack oleh Goleman, ketika emosi mengambil alih fungsi rasional, akibatnya keputusan yang dibuat di bawah tekanan emosional hampir selalu buruk.

Contoh nyatanya terlihat dalam hubungan kerja, sorang atasan yang tersinggung oleh kritik bawahannya bisa menganggap kritik itu sebagai bentuk pembangkangan dan  ketidakpatuhan  padahal mungkin itu masukan konstruktif. Ketika logika dikuasai emosi, realitas menjadi kabur, untuk itu latihan daya pikir emosional adalah tentang mengembalikan kendali itu ke tangan kesadaran.

3. Ketenangan bukan lemah, tapi bentuk kekuatan berpikir

Dalam budaya yang mengagungkan respon cepat, diam dianggap kalah. Padahal, diam sering kali adalah strategi tertinggi dari pikiran yang kuat. Otak yang mampu menahan diri berarti otak yang telah terlatih dengan sadar. Bukan berarti tidak merasa, tapi tahu kapan perasaan harus berbicara dan kapan harus diam. Karena pada akhirnya, berpikir jernih bukan tentang seberapa tinggi  IQ kita, akan  tetapi seberapa dalam kamu mengenali emosi kita sendiri.

Coba lihat orang-orang besar dalam sejarah: Marcus Aurelius, Buddha, bahkan Nelson Mandela. Mereka tidak mudah bereaksi pada hinaan atau ketidakadilan. Mereka mengolahnya menjadi tindakan sadar. Daya pikir emosional bukan tentang menahan amarah, tapi mengubah energi emosional menjadi kebijaksanaan tindakan.

4. Pikiran tenang adalah pikiran tajam

Ketika emosi reda, otak berpikir dengan kapasitas penuh. Fokus meningkat, perspektif meluas, dan keputusan jadi lebih objektif. Itulah sebabnya mengapa orang yang tenang terlihat lebih “pintar” dalam menyelesaikan masalah. Otak yang jernih bekerja efisien, sementara otak yang gelisah menguras energi.

Contoh kecilnya,  ketika sedang  terjadi  diskusi yang memanas, mereka yang emosional sering kehilangan arah argumen. Sementara yang tenang mampu mengurai masalah inti dengan logis. Ketenangan bukan bawaan lahir, tapi hasil latihan kesadaran berpikir, hal  ini salah satu hal yang bisa kita  latih dengan terus menerus.

5. Otak kuat bukan yang tidak tersinggung, tapi yang cepat pulih

Tidak ada manusia yang benar-benar kebal dari rasa tersinggung, akan tetapi bedanya, otak yang kuat bisa bangkit lebih cepat dari luka emosional. Ia tidak  akan berlama-lama dalam perasaan menjadi korban, ia belajar dari pengalaman dan memperkuat sistem mentalnya untuk menghadapi serangan berikutnya.

Dalam konteks psikologi modern, ini disebut resilience, kemampuan otak untuk pulih dari stress, setiap kali kita mampu menenangkan diri setelah marah,  berarti kita sedang membangun otot kognitif baru. Daya pikir emosional tumbuh lewat latihan kecil yang konsisten dalam menghadapi diri sendiri.

Otak yang kuat berarti tidak merasa, tapi tahu kapan perasaan harus berbicara dan kapan harus diam. Karena pada akhirnya, berpikir jernih bukan tentang seberapa tinggi IQ-kita, tapi seberapa dalam kita mengenali emosi diri sendiri.

Semoga Bermanfaat…

Copyright : Sundusiah (Pengawas Madrasah Kantor Kementerian Agama Kab. Tanggamus)